RSUD Tanjungpinang Dianggap Melalaikan Bayi Berusia 3 Minggu, Akhirnya Meninggal

Rudi Fauji bersama istrinya di Sekretariat DPD FPPI Provinsi Kepri, Jalan Kijang Lama Nomor 23 F, Kota Tanjungpinang, Sabtu, 18 Februari 2023. (Foto: Puan Kepri)

TANJUNGPINANG- Rudi Fauji, 37 tahun, mengaku sangat kecewa dengan pelayanan RSUD Tanjungpinang. Rumah sakit milik pemerintah kota ini diduga lamban menangani anaknya yang memerlukan pertolongan segera.

Adapun sang anak, Rara Purnama Asih, bayi berusia 3 minggu. Rara dirujuk ke RSUD oleh dokter spesialis anak. Tapi selama di RSUD dianggap Rudi tidak mendapatkan pelayanan medis yang layak.

“Di RSUD kami sebagai manusia, tidak dimanusiakan,” katanya, Sabtu, 18 Februari 2023, di Sekretariat DPD Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) Provinsi Kepri.

Bersama istrinya, warga Tanjungpinang yang tinggal di Perum Jala Bestari, Batu IX, ini ditemui langsung Ketua DPD FPPI Kepri, Anis Anorita Zaini.

Rudi menceritakan, Senin kemarin (13/2), sejak pagi Rara demam. Sampai sore. Tidak mau menyusu. Rudi melihat seperti ada dahak di tenggorokan Rara. Karena khawatir, dibawalah ke dokter spesialis anak.

Tanda bahwa ada dahak di tenggorokan sang anak memang sudah terlihat sejak dua hari sebelumnya. Hal tersebut diketahui setiap minum susu. Agak tersedak. Tapi kondisi fisik bayi baik-baik saja.

“Bayi kami sehat. Cuma ada semacam dahak di tenggorokannya. Jadi setiap menyusu agak batuk karena dahak,” ujar Rudi.

Akhirnya, Senin sore tersebut, Rudi dan istri berkeliling mencari tempat praktik dokter. Rara sempat dibawa ke dokter umum. Tapi disarankan sebaiknya menemui dokter spesialis anak.

“Akhirnya ke Dokter Anik. Setelah diperiksa dokternya merujuk ke RSUD,” ujar Rudi.

Menjelang maghrib, Rara tiba di RSUD dan langsung masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD). Yang mengherankan Rudi, hingga menjelang tengah malam di IGD, bayi-nya hanya dibaringkan di tempat tidur. Diberi oksigen. Itu saja. Tidak ada tindakan medis apapun.

“Saya tanya dokternya mana, kata suster yang berjaga hasil lab (laboratorium) belum keluar,” katanya.

Setelah tengah malam, Rudi melanjutkan, suster memberikan resep dokter dan harus ditebus di apotik RSUD.

“Bapak ke apotik dulu. Sudah itu konfirmasi ke kasir bagian IGD. Terus bapak baru bisa ambil obatnya,” begitu penuturan si suster ditirukan Rudi yang menurutnya ribet, lama, menyusahkan.

“Cuma saya ikutin prosedurnya. Dan jujur saja uang saya pas-pasan. Tengah malam. Kondisi darurat,” ucap Rudi.

Ia mengaku sempat menyampaikan ke kasir boleh tidak uang obat dibayar separuh dulu. Besok pagi atau siang, Rudi tutupi kekurangannya.

“Bahasa dari kasir sangat indah bagi saya. Luar biasa. Itu pak di depan ada ATM. Bapak tinggal ke ATM aja.”

Tapi setelah dicari kanan kiri, akhirnya uang Rp200 lebih terkumpul. Obat pun tertebus.

Setelah itu, Rudi melihat dua jenis obat diberikan ke sang anak.  Ia mengaku tidak tahu menahu fungsi obat itu apa.

Sampai di sini, Rara belum juga ditangani secara medis. Karena susternya mengatakan selain hasil pemeriksaan laboratorium, juga masih harus menunggu lagi hasil rontgen.

Rara lalu dipasang infus yang sudah dibeli sang ayah di apotek tadi.

Sekitar pukul 02.00 malam, Rara dibawa ke ruang inap. Tapi dokter yang diharap Rudi dan istri tak kunjung tiba.

“Anak saya dari IGD setelah dikasih obat nampak semakin sesak. Dahak keluar-keluar terus. Dikasih oksigen masih agak enak nafasnya. Tapi tidak ada juga tindakan medis yang memadai. Suster yang berjaga hanya mengelap dahak yang keluar,” ujar Rudi.

Berulang kali ia bertanya kapan dokternya datang. Sang suster hanya menjawab, “Nanti, Pak.”

“Jadi nunggu apa sebenarnya.  Apa nunggu kematian anak saya,” ucap Rudi.

Ia pun mengaku semakin panik. Bercampur marah. Tapi tidak tahu harus bagaimana. Sementara istrinya selalu meneteskan air mata.

“Apa karena kami ini nampak bukan orang yang punya uang seperti itu caranya, saya kurang tahu. Cuma kami fokus ke anak, karena panik,” tambahnya.

Siang keesokan harinya sang dokter akhirnya datang. Tapi Rudi tak sempat bertemu. Ia sedang membeli makanan buat istri. Karena tak jumpa dokter inilah, menurut Rudi, hasil rontgen bayinya tak pernah dijelaskan sampai sekarang.

“Kenapa tidak dijelaskan sedang di situ ada istri saya. Barulah setelah itu anak saya dimasukkan inkubator. Terus dirujuk ke rumah sakit provinsi,” kata Rudi.

Adapun alasan harus dirujuk ke rumah sakit provinsi dikarenakan peralatan medis RSUD penuh.

Rudi mengaku semakin heran. “Kenapa tidak sejak awal dirujuk. Kenapa menunggu anak saya sampai lemah,” katanya.

Rudi mengetahui anaknya lemah dari berat badan. Semula 2,8 Kg. Ketika diperiksa di Dokter Anik turun menjadi 2,2 Kg. Di RSUD masih sama 2,2 Kg.

Nah, satu malam di RSUD, hingga siang, mendekati maghrib saat diperiksa di rumah sakit provinsi tinggal 2,1 Kg.

“Itu kan drastis. Berarti, kan, anak saya darurat butuh pertolongan,” tuturnya.

Rudi merasa RSUD sangat lalai terhadap bayinya. Seharusnya tindakan medis disegerakan. Apalagi sudah ada rujukan dari dokter spesialis anak.

Adapun saat bayinya dibawa di rumah sakit provinsi (RSUD Provinsi Kepri Raja Ahmad Tabib), Rudi mengaku penanganannya luar biasa.

“Meski saya orang susah, di RSUD Provinsi saya salut soal penanganan. Dokter langsung yang menangani. Uji lab dan sebagainya serba cepat. Dokter juga langsung menjelaskan kondisi anak saya,” ujarnya.

Tapi apa boleh dikata. Kondisi Rara Purnama Asih sudah terlalu lemah. Bayi mungil inipun kritis. Dan meninggal pada Rabu, 15 Februari 2023, sekitar pukul 21.30 Wib.

“Semoga tidak ada lagi bayi yang bernasib seperti anak saya, yang, menurut saya, dilalaikan RSUD Tanjungpinang. Ada unsur sengaja. Soalnya saya tanya berulang-ulang mana dokter, suster hanya menjawab dengan jawaban tak jelas,” kata Rudi.

Begitu pula saat di ruang rontgen. Rudi melihat kosong. Kenapa bayinya tidak disegerakan.

“Apa karena nengok kami ini orang susah. Apa karena saya ke sana pakai sandal jepit. Apakah karena melihat kami tidak pakai jas,” ucap Rudi.

Sementara biaya yang masih menjadi tanggungan Rudi di RSUD Tanjungpinang sekitar Rp1.300.000 lebih. Belum lagi biaya di RSUD Provinsi. Jika ditotal keseluruhan mencapai Rp8 juta lebih.

“Sampai sekarang belum dibayar,” tuturnya.

Ketua DPD FPPI Kepri, Anis Anorita Zaini, yang juga pemimpin umum media ini, mengaku akan segera mengkonfirmasi masalah ini ke managemen RSUD. Termasuk Wali Kota Tanjungpinang.

“Dan pastinya, kami juga akan membantu mencarikan jalan keluar bagi Pak Rudi dan istri,” katanya. (Anis)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *