
Sofia Salsabila
Manajemen Bisnis Syariah 2021
STEBI Batam
Korupsi di Indonesia telah menjadi momok yang merusak fondasi demokrasi, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam diskursus ini, Hasto Kristiyanto, seorang politisi sekaligus intelektual, menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai garda terdepan dalam perjuangan melawan korupsi. Pernyataan ini memperlihatkan urgensi untuk melihat korupsi bukan hanya sebagai tindakan individu, melainkan ancaman sistemik yang memerlukan kolaborasi lintas generasi, terutama melibatkan elemen-elemen muda seperti mahasiswa.
Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa
Dalam berbagai literatur, termasuk penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal IQTISAD oleh Hartanto et al. (2024), korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa. Dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merusak nilai-nilai moral dan demokrasi. Korupsi sering kali melibatkan penguasa atau aktor politik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri. Fakta ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilepaskan dari pengawasan terhadap elite politik dan partai.
Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sipil memiliki peran strategis. Kampus-kampus di Indonesia harus menjadi pusat intelektual yang tidak hanya mengkaji persoalan korupsi tetapi juga melahirkan solusi-solusi nyata. Misalnya, penerapan whistleblowing system seperti yang dikembangkan dalam penelitian Widyawati et al. (2023) dapat menjadi salah satu mekanisme yang diperjuangkan mahasiswa untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas di lembaga-lembaga publik maupun politik.
Pergeseran Status KPK dan Tantangan Baru
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah status KPK menjadi lembaga di bawah rumpun eksekutif memicu kontroversi besar. Dalam artikel yang diterbitkan di Jurnal Legistatif oleh Shandy dan Satrio (2023), disebutkan bahwa perubahan ini menimbulkan polemik karena mengurangi independensi KPK. Menggunakan pendekatan teori Philip Bobbit, penelitian ini menyoroti bahwa perubahan ini lebih banyak diwarnai oleh pertimbangan struktural ketimbang substansial dalam upaya pemberantasan korupsi.
Bagi mahasiswa, perubahan ini menjadi tantangan untuk lebih kritis dalam mengawal kebijakan. Diskusi, seminar, hingga aksi damai dapat menjadi bentuk partisipasi mahasiswa untuk menekan pemerintah agar tetap menjaga independensi KPK. Lebih dari itu, mahasiswa juga harus mampu memahami dinamika hukum dan politik yang melingkupi lembaga antirasuah tersebut agar dapat berkontribusi dalam menciptakan reformasi hukum yang lebih berintegritas.
Pendidikan Antikorupsi sebagai Pilar Perubahan
Ni Ketut Dessy Fitri Yanti Dewi dalam artikelnya di Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis (2023) menegaskan pentingnya pendidikan antikorupsi dalam menumbuhkan budaya anti-korupsi. Generasi muda perlu diberi pemahaman sejak dini tentang bahaya korupsi dan bagaimana cara mencegahnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Hasto Kristiyanto yang mengajak mahasiswa untuk menjadi pelopor gerakan antikorupsi di lingkungannya masing-masing.
Pendidikan antikorupsi tidak hanya terbatas pada ruang kelas. Kampanye kreatif, diskusi interaktif, hingga penggunaan media sosial dapat menjadi sarana efektif dalam menyebarluaskan nilai-nilai kejujuran dan transparansi. Mahasiswa dengan kecakapan digital mereka dapat mengubah narasi masyarakat dari permisif terhadap korupsi menjadi aktif melawan korupsi. Kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan masyarakat luas dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung terciptanya budaya antikorupsi.
Pendekatan Holistik dalam Pemberantasan Korupsi
Korupsi adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan pendekatan holistik dalam penanganannya. Penelitian Atmoko dan Syauket (2022) menunjukkan bahwa salah satu solusi dalam memberantas korupsi adalah dengan memperkuat penegakan hukum. Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Perlu ada upaya sistematis untuk menanamkan integritas di setiap level masyarakat.
Mahasiswa dapat mengambil peran aktif dalam mendukung pemberantasan korupsi melalui berbagai cara. Mereka dapat mendorong terciptanya regulasi yang lebih tegas, mengawasi implementasi kebijakan, serta melakukan penelitian independen untuk mengungkap praktik-praktik korupsi. Selain itu, mahasiswa juga dapat menjadi motor penggerak dalam membangun kesadaran kolektif bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi.
Whistleblowing System dan Teknologi Digital
Kemajuan teknologi membuka peluang baru dalam memberantas korupsi. Sistem whistleblowing yang diperkenalkan oleh Widyawati et al. (2023) memberikan contoh konkret bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi. Platform seperti SIAPP yang memungkinkan masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi di partai politik menjadi inovasi yang sangat relevan.
Mahasiswa sebagai digital natives dapat memanfaatkan teknologi untuk mengadvokasi sistem serupa di lembaga-lembaga lain. Dengan membangun aplikasi yang mudah diakses dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melaporkan praktik korupsi, mahasiswa dapat berkontribusi signifikan dalam mendorong transparansi di berbagai sektor.
Kesimpulan: Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Hasto Kristiyanto benar ketika ia menyebutkan bahwa mahasiswa adalah pilar penting dalam memerangi korupsi. Dengan intelektualitas, idealisme, dan semangat muda yang dimiliki, mahasiswa memiliki potensi besar untuk mengubah wajah pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, potensi ini harus didukung dengan komitmen untuk terus belajar, berkolaborasi, dan bergerak bersama masyarakat.
Korupsi adalah musuh bersama bangsa. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, harus bersatu untuk melawannya. Dengan memanfaatkan pendidikan, teknologi, dan kesadaran kolektif, kita dapat menciptakan Indonesia yang lebih transparan, adil, dan bebas dari korupsi.








