Dhuha Firdaus Rizky Safitrian
Mahasiswa STIE Pembangunan, Tanjungpinang,
Manajemen kinerja merupakan sistem yanag menjadi tantangan bagi manager. Para manajer tidak terlalu menyukai proses tersebut, karyawan bahkan seringkali takut melakukannya. Tantangan yang kita hadapi adalah menemukan cara melakukan sistem manajemen kinerja yang masuk akal, baik bagi manajer maupun karyawan, menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan sistem tersebut, membantu karyawan untuk melakukan pekerjaan tersebut, dan membantu perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Sehingga timbul pertanyaan, mengapa banyak orang menghindari sistem manajemen kinerja? Berikut ini minimal ada 7 (tujuh) alasan yang sering dikemukakan para manajer:
1. Formulir dan prosedur yang digunakan perusahaan tidak masuk akal-hanya sekedar tumpukan pekerjaan administrasi yang tidak ada tujuannya.
2. Saya tidak punya waktu.
3. Saya tidak suka bertengkar (beroposisi).
4. Saya tidak mau bermasalah dengan karyawan.
5. Saya tidak nyaman dengan karyawan.
6. Susah bagi saya untuk memberikan umpan balik kepada karyawan.
7. Saya tidak mungkin mengawasi karyawan setiap waktu.
Sedangkan 7 (tujuh) alasan yang sering dikemukakan para karyawan adalah sebagai berikut.
1. Karyawan mempunyai pengalaman buruk dengan sistem manajemen kinerja.
2. Karyawan mempunyai pengalaman buruk dengan manajernya.
3. Manusia tidak suka diawasi.
4. Manusia tidak suka dikritik.
5. Manajer tidak memberikan umpan balik.
6. Karyawan tidak tahu apa yang diharapkan.
7. Karyawan tidak tahu untuk apa sistem manajemen kinerja dilaksanakan.
Keterbatasan setiap sistem termasuk sistem manajemen kinerja adalah semua manusia yang ada di dalam sistem tersebut akan terperangkap dalam jaringan sistem yang dibuatnya sendiri. Sistem disepakati untuk dilaksanakan dan dipatuhi. Semua manusia
yang ada dalam sistem tidak boleh berpikir, berperasaan, dan bertindak di luar sistem Akibatnya, kreativitas dan inovasi manusia yang ada dalam sistem itu tidak berkembang. Bagi mereka yang pro perubahan akan cepat bosan dengan sistem yang ada. Orang-orang yang pro perubahan merasa kreativitas dan inovasinya terbelenggu oleh sistem. Akibatnya, mereka tidak kreatif dan inovatif, suasana menjadi kaku, mereka merasa tidak betah di perusahaan dan pada gilirannya dapat menurunkan kinerjanya.
Keterbatasan sistem manajemen kinerja dalam menampung kebutuhan sistem operasi perusahaan saat ini adalah keterbatasan sistem pengukuran kinerja finansial yang belum mampu mengakomodasi tuntutan persaingan di pasar bebas. Penelitian-penelitian tentang keterbatasan sistem pengukuran kinerja finansial telah banyak dilaksanakan, namun hasilnya belum memuaskan semua pihak karena keterbatasan sistem pengukuran kinerja finansial adalah ketidakmampuan pengukuran yang didasarkan atas sistem akuntansi dalam menampung kebutuhan sistem operasi perusahaan saat ini. Keterbatasan sistem pengukuran kinerja finansial ini dijelaskan oleh Kaplan dan Cooper, et al (Handayani, 2018) meliputi:
1. Kurang relevan sistem pengukuran kinerja berbasis finansial bagi pengelolaan usaha saat ini (lack of relevance)
2. sistem konvensional berorientasi pada pelaporan kinerja masa lalu (lagging metrics),
3. berorientasi jangka pendek (shorttermism)
4. Kurang luwes atau fleksibel (inflexible)
5. Tidak memicu perbaikan (does not foster improvement)
6. Sering rancu pada aspek biaya (cost distortion).
Menurut Wibisono (Maddinsyah et al., 2020) sistem pengukuran kinerja finansial adalah sebagai berikut :
a. Kurang Sesuai Sistem Pengukuran Kinerja Berbasis Finansial Bagi Pengelolaan Usaha Sekarang.
Sistem pengukuran kinerja konvensional dianggap kurang cocok apabila ukuran kinerja konvensional yang didasarkan atas sistem akuntansi tersebut dilaksanakan untuk seluruh tingkat (level), mulai dari tingkat perusahaan (corporate level), tingkat unit bisnis (business unit level), tingkat manajemen operasi (operational management level) sampai tingkat lantai operasi (shop floor level). Kekurangcocokan tersebut terutama muncul jika pengukuran kinerja
finansial dilaksanakan pada dua tingkat paling bawah yaitu tingkat manajemen operasi dan tingkat lantai operasi. Meskipun seluruh variabel di kedua tingkat tersebut dapat dikonversikan ke dalam unit ongkos, ukuran yang tidak biasa dipakai dalam praktik sehari-hari kurang memberikan arti sehingga tidak mendapatkan perhatian dari orang-orang yang bekerja di tingkat tersebut. Sistem Konvensional
b. Berorientasi Pada Pelaporan Kinerja Masa Lalu
Laporan-laporan finansial yang diberikan perusahaan merupakan laporan periode waktu yang sudah lewat (lagging metrics) karena laporan finansial (neraca, aliran kas, laba-rugi, dan sebagainya) merupakan laporan finansial satu tahun yang lalu. Umpan balik yang diharapkan sering kali terlalu jauh ke belakang sehingga pihak manajemen tidak dapat mengambil langkah-langkah penyelamatan atau keamanan. Periode laporan semester bahkan tahunan adalah periode yang usang bagi level operasional untuk menindaklanjuti berbagai kekurangan yang terjadi di masa itu.
c. Orientasi Jangka Pendek
Orientasi pada keuntungan keuangan finansial jangka pendek (short-termism) dipandang sudah tidak lagi menjadi fokus utama bagi perusahaan-perusahaan tingkat dunia. Fokus perusahaan beralih menjadi tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu, fokus pada pengurangan biaya tidak lagi terkenal. Biaya dipandang sebagai konsekuensi logis dari kualitas, fleksibilitas, dan pengiriman yang handal. Jika ketiga variabel (biaya, fleksibilitas, dan pengiriman) tersebut kompetitif dibandingkan perusahaan lain, secara otomatis biaya pada jangka panjang akan menurun. Tetapi ketiga variabel tersebut tidak dapat diakomodasikan ke dalam laporan finansial. Fokus perusahaan saat ini bukan hanya semata-mata mengejar keuntungan finansial, tetapi juga membidik aspek nonfinansial dengan memberikan nilai tambah bagi stakeholders yang lain seperti masyarakat di sekitarnya, pelanggan, pemasok, pemerintrah, dan kepedulian pada lingkungan hidup yang telah menjadi isu sentral di abad ini.
d. Kurang Fleksibel
Pengukuran kinerja konvensional dirancang berdasarkan variabel-variabel pengukuran yang sudah standar dan tetap yang sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan persaingan yang dinamis, sulit diramalkan, dan semakin ketat. Perusahaan sulit bersaing pada semua aspek atau variabel persaingan dan dalam
keseluruhan dimensi persaingan. Oleh sebab itu, perusahaan harus memiliki aspek atau variabel yang akan dipilih menjadi prioritas unggulan perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain. Prioritas inilah yang harus selalu fleksibel untuk dikaji ulang dan direvisi sehingga mencerminkan pilihan keunggulan yang dinamis
e. Tidak dilakukan Perbaikan Sistem
Sistem pengukuran kinerja konvensional tidak dapat menjadi pedoman bagi proses perbaikan yang diinginkan pihak manajemen. Hal ini karena tidak adanya kaji banding baik pada proses perbaikan internal maupun pihak-pihak pesaing eksternal. Rasio-rasio yang ada hanya merupakan angka-angka mati, tidak menuntun ke arah proses perbaikan yang harus dilakukan dan tidak menyatakan program-program seperti apa yang dapat meningkatkan kinerja waktu lalu tersebut.
f. Permasalahan Dalam Aspek Biaya
Sistem pengukuran kinerja konvensional cenderung mengukur segala aspek berdasarkan perhitungan biaya saja sehingga sering tidak akurat dalam proses pemanfaatan hasil pengukuran, analisis, dan tindakan. Hal ini sering menimbulkan distorsi karena nilai uang bersifat relatif bagi setiap orang. Kerugian sebesar Rp 2 juta dapat bermakna kerugian besar, kecil, atau tidak berarti apa-apa tergantung dari jenis usaha, lingkungan persaingan, pelaku bisnis, dan berbagai hal yang bersifat sangat relatif. Konversi biaya bermakna pada level tertentu, tetapi tidak harus dilakukan pada seluruh level dan variabel.
Keterbatasan sistem manajemen kinerja lainnya menurut Bacal (Rumawas, 2021) adalah manajemen kinerja adalah sebuah tantangan. Para manajer tidak terlalu menyukai tantangan tersebut. Karyawan bahkan seringkali takut melakukannya, dan mereka yang bekerja di bagian sumber daya manusia menghabiskan cukup banyak waktu. Keterbatasan yang kita hadapi adalah menemukan cara melaksanakan manajemen kinerja yang masuk akal, baik bagi kita sendiri maupun bagi para karyawan, menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tersebut, membantu para karyawan melakukan pekerjaan mereka, dan membantu perusahaan mencapai tujuannya. Apakah kita menerima satu perangkat formulir dan prosedur dari perusahaan? Kita harus mengisi dengan lengkap dan benar formulir kinerja tersebut serta membantu pelaksanaan manajemen kinerja.
Keterbatasan yang dihadapi sistem manajemen kinerja adalah terdapat kecenderungan dihindari baik oleh manajer maupun karyawan. Bagi manajer, manajemen kinerja merupakan pekerjaan tambsahan beban kerja di jurnal 3samping melaksanakan beban-beban kerja lainnya. Manajer juga khawatir melaksanakan manajemen kinerja karena ada kemungkinan terjadi penolakan (resistensi) dari karyawan sehingga dapat menimbulkan konflik dengan karyawan. Bagi karyawan, manajemen kinerja merupakan sesuatu yang masih meragukan karena mereka belum memahami sepenuhnya tentang manfaat manajemen kinerja bagi dirinya sendiri.
Pelaksanaan sistem manajemen kinerja ditemukan 5 (lima) keterbatasan. Kelima keterbatasan tersebut adalah
1. Kurangnya pemahaman secara mendalam dan komprehensif tentang sistem manajemen kinerja,
2. Belum memadainya sarana dan prasarana untuk melaksanakan sistem manajemen kinerja, misalnya sarana dan prasarana untuk mengakses sumber data yang diperlukan,
3. Kurangnya penelitian dan hasil penelitian (jurnal).
4. Kurangnya buku-buku referensi dan pelatihanpelatihan utuk meningkatkan kompetensi sistem manajemen kinerja.
5. Lemahnya fungsi kontrol sosial dari pihak pemerintah dan pihak-pihak terkait terhadap pelaksanaan sistem manajemen kinerja yang belum berjalan dengan baik di suatu perusahaan.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan sistem manajemen kinerja, kita harus mengetahui bagaimana cara mengefektifkan sistem manajemen kinerja yaitu sebagai berikut :
1. Relevance: hal-hal atau faktor-faktor yang diukur adalah yang relevan (terkait) dengan pekerjaannya, apakah itu inputnya, prosesnya, atau outputnya.
2. Sensitivity: sistem yang digunakan harus cukup peka untuk membedakan antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi.
3. Reliability: sistem yang digunakan harus dapat diandalkan, dapat dipercaya bahwa menggunakan tolok ukur yang objektif, sahih, akurat, konsisten, dan stabil.
4. Acceptability: sistem yang digunakan harus dapat dimengerti dan diterima oleh karyawan yang menjadi penilai dan yang dinilai serta memfasilitasi komunikasi aktif dan konstruktif antara keduanya.
5. Practicality: semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan oleh kedua pihak, tidak rumit, atau berbelit-belit.